Pameran Topeng Hingga Lukisan, Semarakkan Magelang Sepanjang Februari
By Admin
nusakini.com, – Sepanjang Februari, Kabupaten Magelang bakal diramaikan dengan pameran seni hasil karya berbagai seniman. Mulai dari topeng hingga lukisan.
Seniman Lima Gunung, Khoirul Mutaqin, memamerkan 20 topeng dalam balutan tema “Batin Manusia” di Studio Mendut, Mungkid. Pameran selama Februari 2025 ini dibuka oleh budayawan Sitras Anjilin dan Sutanto Mendut, Sabtu (1/2/2025) petang.
Khoirul Mutaqin merupakan perajin topeng asal Wonolelo Bandongan Kabupaten Magelang. Ia menjadi salah satu seniman Magelang yang dikenal di kalangan seniman ataupun budayawan, terutama di wilayah Yogyakarta. Ratusan karya topengnya sudah tersebar di berbagai wilayah.
Khoirul sengaja mengambil tema Batin Manusia untuk menceritakan tentang perjalanan manusia pada umumnya, dari rahim hingga ajal tiba.
“Sekarang ini zaman media sosial ataupun podcast, saya simpulkan melalui topeng. Banyak manusia memendam batin yang menggambarkan karakter perasaan marah antara hati dan pikiran tidak sama,” katanya di sela acara.
Khoirul mengatakan, beberapa topeng yang dibuat bergaya Tutup Ngisor ciptaan Romo Yoso. Seluruh topeng yang dipamerkan dibuat dalam tempo hanya dua bulan.
Ia nekat membuat pameran topeng karena ada dorongan para penari yang banyak menggunakan topeng karyanya.
“Saya tanpa penari, tidak ada artinya. Karena topeng-topeng karya saya ini banyak digunakan oleh mereka,” ujarnya.
Hingga saat ini ini, sudah lebih dari 500 topeng yang dihasilkan. Sebagian besar merupakan Topeng Panji, yang memiliki arti sebagai simbol terciptanya alam semesta dan manusia, serta menggambarkan bayi yang baru lahir. Topeng Panji juga melambangkan kewibawaan dan ketenangan.
Namun, topeng yang dipamerkan kali ini, keluar dari topeng panji.Banyak penari yang memesan karya Khoirul, bukan hanya harganya yang terjangkau, namun karena memang kualitasnya bagus.
Sutanto Mendut mengatakan, aktivitas Khoirul bersama Komunitas Lima Gunung (KLG), secara tidak langsung berpengaruh pada pola pergaulan dan berjejaring yang dilakukan sebagai seniman topeng. Irul, panggilan akrabnya, yang tinggal di desa kemudian memiliki kesempatan bergaul lintasbatas.
“Ini karena ia banyak bertemu dengan penari-penari dan kolektor dari luar kota serta mancanegara. Pertemuan itu yang memperkaya referensi artistik Irul,” kata Sutanto.
Kekompakan dan Kebersamaan
Sementara itu, Galeri Limanjawi di Wanurejo Borobudur menggelar pameran lukisan yang pertama pada awal 2025. Pameran kali ini disajikan oleh kelompok Prasinda 93, yang merupakan alumni Institut Seni Indonesia (ISI). Sebanyak 32 lukisan berbagai aliran dipamerkan selama dua minggu pada 2-18 Februari 2025.
Umar Chusaeni, pemilik galeri Limanjawi mengatakan, pameran itu merupakan kebanggaan karena merupakan pameran kedelapan dari kelompok Prasinda, setelah sekian lama tidak bertemu. Para alumni ini tinggal di kota yang berlainan, seperti Jakarta, Manado, Malang, dan kota lainnya.
Umar menyebutkan ada 16 seniman yang ikut dalam pameran tersebut, beberapa di antaranya Agni Tripratwi, Agus Subyakta, Anang Asmara, A Emor Mingkid, Alpha Tejo Purnomo, Darmawan Indra Budi, Donni Kurniawan, Endro Supriyanto, I Wayan Gede Santyasa, Muji Harjo, Noor Asif, Oskar Matano, Roni Dermawan, Stefan Buana, Tini Jameen, dan sebagainya.
Adapun tema pameran kali ini dalah ‘Gatra Akyati’, yang artinya tentang kekompakan dan kebersamaan yang harus dijaga.
Dosen ISI, Suwarno Wisetrotomo yang membuka pameran itu mengatakan, pameran tersebut penting, karena seni diletakkan sebagai medium untuk merawat kekerabatan dan persahabatan. Mereka merupakan Angkatan 1993 yang membentuk kelompok bernama Prasida.
“Ternyata kekerabatan mereka terawat hingga sekarang,” katanya.
Pameran tersebur menemukan titik pentingnya, karena kebetulan di Limanjawi Borobudur, merupakan satu kantong seni atau kebudayaan hidup.
Lukisan-lukisan yang dipamerkan, tidak ada yang spesifik menyinggung tentang segala macam perbedaan atau konflik di Kawasan Candi Borobudur.
Suwarno justru menilai, siapa pun yang misalnya sedang berbeda pandangan, justru bisa ke sini untuk menikmati seni.
“Karena seni merupakan medium paling efektif untuk membangun percakapan,” tutupnya. (*)